KESENIAN DAN
KEBUDAYAAN SULAWESI SELATAN
1.Upacara
Rambu Solo
Upacara
Adat Rambu Solo adalah upacara adat kematian masyarakat Tana
Toraja (upacara penyempurnaan kematian) untuk menghormati dan mengantarkan
arwah orang yang meninggal dunia menuju alam roh, yaitu kembali kepada
keabadian bersama para leluhur mereka di sebuah tempat peristirahatan
yang disebut Puya, di bagian selatan tempat tinggal manusia. Puncak
acara ini disebut Upacara Rante serta acara lain seperti Adu Kerbau, Adu Kaki
dan-lain-lain.
Kemeriahan upacara Rambu
Solo ditentukan oleh status sosial keluarga yang meninggal, diukur dari jumlah
hewan yang dikorbankan. Semakin banyak kerbau disembelih, semakin tinggi status
sosialnya. Biasanya, untuk keluarga bangsawan, jumlah kerbau yang disembelih
berkisar antara 24-100 ekor, sedangkan warga golongan menengah berkisar 8 ekor
kerbau ditambah 50 ekor babi.
2.Tari
Pakarena
Tari
Pakarena adalah tarian tradisional dari Sulawesi Selatan yang diiringi
oleh 2 (dua) kepala drum (gandrang) dan sepasang instrument alat semacam suling
(puik-puik). Selain tari pakarena yang selama ini dimainkan oleh maestro tari
pakarena Maccoppong Daeng Rannu (alm) di kabupaten Gowa, juga ada jenis tari
pakarena lain yang berasal dari Kabupaten Kepulauan Selayar yaitu “Tari
Pakarena Gantarang”. Disebut sebagai Tari Pakarena Gantarang karena tarian ini
berasal dari sebuah perkampungan yang merupakan pusat kerajaan di Pulau Selayar
pada masa lalu yaitu Gantarang Lalang Bata. Tarian yang dimainkan oleh kurang
lebih empat orang penari perempuan ini pertama kali ditampilkan pada abad ke 17
tepatnya tahun 1903 saat Pangali Patta Raja dinobatkan sebagai Raja di
Gantarang Lalang Bata.
Tidak ada data yang
menyebutkan sejak kapan tarian ini ada dan siapa yang menciptakan Tari
Pakarena Gantarang ini namun masyarakat meyakini bahwa Tari Pakarena
Gantarang berkaitan dengan kemunculan Tumanurung. Tumanurung merupakan bidadari
yang turun dari langit untuk untuk memberikan petunjuk kepada manusia di bumi.
Petunjuk yang diberikan tersebut berupa symbol – simbol berupa gerakan kemudian
di kenal sebagai Tari Pakarena Gantarang. Hal ini hampir senada dengan apa yang
dituturkan oleh salah seorang pemain Tari Pakarena Makassar Munasih Nadjamuddin.
Wanita yang sering disama Mama Muna ini mengatakan bahwa Tari Pakarena berawal
dari kisah perpisahan penghuni botting langi (Negeri Kayangan) dengan penghuni
lino (bumi) zaman dahulu. Sebelum berpisah, botting langi mengajarkan kepada
penghuni lino mengenai tata cara hidup, bercocok tanam hingga cara berburu
lewat gerakan-gerakan tangan, badan dan kaki. Gerakan inilah yang kemudian
menjadi tarian ritual ketika penduduk di bumi menyampaikan rasa syukur pada
penghuni langit.
Tak mengherankan jika gerakan
dari tarian ini sangat artistik dan sarat makna, halus bahkan sangat sulit
dibedakan satu dengan yang lainnya. Tarian ini terbagi dalam 12 bagian. Setiap
gerakan memiliki makna khusus. Posisi duduk, menjadi pertanda awal dan akhir
Tarian Pakarena. Gerakan berputar mengikuti arah jarum jam, menunjukkan siklus
kehidupan manusia. Sementara gerakan naik turun, tak ubahnya cermin irama
kehidupan. Aturan mainnya, seorang penari Pakarena tidak diperkenankan membuka
matanya terlalu lebar. Demikian pula dengan gerakan kaki, tidak boleh diangkat
terlalu tinggi. Hal ini berlaku sepanjang tarian berlangsung yang memakan waktu
sekitar dua jam. Tari Pakarena Gantarang diiringi alat music berupa gendang,
kannong-kannong, gong, kancing dan pui-pui. Sedangkan kostum dari penarinya
adalah, baju pahang (tenunan tangan), lipa’ sa’be (sarung sutra khas Sulawesi
Selatan), dan perhiasan-perhiasan khas Kabupaten Selayar. Tahun 2007, Tari
Pakarena Gantarang mewakili Sulawesi Selatan dan Indonesia pada Acara Jembatan
Budaya 2007 Indonesia–Malaysia di Kuala Lumpur Convention Centre (KLCC).
3.Balla
Lompoa
Museum Balla
Lompoa merupakan rekonstruksi dari istana Kerajaan Gowa yang didirikan pada
masa pemerintahan Raja Gowa ke-31, I Mangngi-mangngi Daeng Matutu, pada
tahun 1936. Dalam bahasa Makassar, Balla Lompoaberarti rumah besar atau
rumah kebesaran. Arsitektur bangunan museum ini berbentuk rumah khas orang
Bugis, yaitu rumah panggung, dengan sebuah tangga setinggi lebih dari dua meter
untuk masuk ke ruang teras.
Museum ini berfungsi
sebagai tempat menyimpan koleksi benda-benda Kerajaan Gowa. Benda-benda
bersejarah tersebut dipajang berdasarkan fungsi umum setiap ruangan pada
bangunan museum. Di bagian depan ruang utama bangunan, sebuah peta
Indonesia terpajang di sisi kanan dinding. Di ruang utama dipajang
silsilah keluarga Kerajaan Gowa mulai dari Raja Gowa I, Tomanurunga
pada abad ke-13, hingga Raja Gowa terakhir Sultan Moch Abdulkadir Aididdin A.
Idjo Karaeng Lalongan (1947-1957). Di ruangan utama ini, terdapat sebuah
singgasana yang di letakkan pada area khusus di tengah-tengah ruangan. Beberapa
alat perang, seperti tombak dan meriam kuno, serta sebuah payung lalong
sipue (payung yang dipakai raja ketika pelantikan) juga terpajang di
ruangan ini.Museum ini pernah
direstorasi pada tahun 1978-1980. Hingga saat ini, pemerintah daerah setempat
telah mengalokasikan dana sebesar 25 juta rupiah per tahun untuk biaya
pemeliharaan secara keseluruhan.
4.Mapasilaga
Tedong
Mapasilaga
Tedong atau adu kerbau. Kerbau yang diadu di sini bukanlah kerbau sembarangan.
Biasanya, kerbau bule (Tedong Bunga) atau kerbau albino yang menjadi kerbau
aduan. Kerbau yang termasuk kelompok kerbau lumpur (Bubalus bubalis) tersebut
merupakan spesies kerbau yang hanya ditemukan di Tana Toraja. Selain itu, ada
juga kerbau Salepo yang memiliki bercak-bercak hitam di punggung dan Lontong
Boke yang berpunggung hitam. Jenis kerbau terakhir ini adalah yang paling mahal
dengan bandrol mencapai ratusan juta rupiah. Kerbau jantan yang sudah dikebiri
juga bisa diikutsertakan dalam Mapasilaga Tedong ini.
5.Baju
Bodo
Baju
bodo adalah pakaian tradisional perempuan suku BugisMakassar, Sulawesi,
Indonesia. Baju bodo berbentuk segi empat, biasanya berlengan pendek, yaitu
setengah atas bagian siku lengan. Baju bodo juga dikenali sebagai salah satu
busana tertua di dunia.
Menurut adat Bugis, setiap
warna baju bodo yang dipakai oleh perempuan Bugis menunjukkan usia ataupun
martabat pemakainya.
Warna
|
Arti
|
Jingga
|
dipakai oleh anak perempuan berumur 10 tahun.
|
Jingga dan merah
|
dipakai oleh gadis berumur 10-14 tahun.
|
Merah
|
dipakai oleh perempuan berumur 17-25 tahun.
|
Putih
|
dipakai oleh para pembantu dan dukun.
|
Hijau
|
dipakai oleh perempuan bangsawan.
|
Ungu
|
dipakai oleh para janda.
|
Dulu, baju bodo bisa
dipakai tanpa penutup payudara. Hal ini sudah sempat diperhatikan James Brooke
(yang kemudian diangkat sultan Brunei menjadi raja Sarawak) tahun 1840 saat dia
mengunjungi istana Bone : “Perempuan [Bugis] mengenakan pakaian sederhana…
Sehelai sarung [menutupi pinggang] hingga kaki dan baju tipis longgar dari
kain muslin (kasa), memperlihatkan payudara dan leluk-lekuk
dada.”Rupanya cara memakai baju bodo ini masih berlaku pada tahun 1930-an.
6.Makanan
Khas
Barongko merupakan makanan
khas Bugis-Makassar yang terbuat dari pisang yang dihaluskan, telur, santan,
gula pasir, dan garam. Kemudian dibungkus daun pisang lalu dikukus. Dahulu,
Barongko disajikan sebagai hidangan penutup bagi para raja Bugis. Selain itu
juga sering disajikan saat acara adat seperti sunatan, pernikahan, syukuran dan
lain sebagainya.
Coto Makassar atau Coto
Mangkasara adalah makanan tradisional Makassar, Sulawesi Selatan. Makanan ini
terbuat dari jeroan (isi perut) sapi yang direbus dalam waktu yang lama.
Rebusan jeroan bercampur daging sapi ini kemudian diiris-iris lalu dibumbui
dengan bumbu yang diracik secara khusus. Coto dihidangkan dalam mangkuk dan
dimakan dengan ketupat dan “burasa”. Saat ini Coto Mangkasara sudah menyebar ke
berbagai daerah di Indonesia, mulai di warung pinggir jalan hingga restoran.
Sup Konro adalah masakan sup
iga sapi yang berasal dari tradisi Bugis dan Makassar. Sup ini biasanya dibuat
dengan bahan iga sapi atau daging sapi. Masakan berkuah warna coklat kehitaman
ini biasa dimakan dengan ketupat kecil yang dipotong-potong terlebih dahulu.
Warna gelap ini berasal dari buah kluwek yang memang berwarna hitam. Bumbunya
relatif “kuat” akibat digunakannya ketumbar.
7.Accera
Kalompoang
Accera
Kalompoang merupakan upacara adat untuk membersihkan benda-benda pusaka
peninggalan Kerajaan Gowa yang tersimpan di Museum Balla Lompoa. Inti dari
upacara ini adalahallangiri kalompoang, yaitu pembersihan dan
penimbangan salokoa (mahkota) yang dibuat pada abad ke-14. Mahkota
ini pertama kali dipakai oleh Raja Gowa, I Tumanurunga, yang kemudian
disimbolkan dalam pelantikan Raja- Raja Gowa berikutnya.
Adapun benda-benda kerajaan
yang dibersihkan di antaranya: tombak rotan berambut ekor
kuda (panyanggaya barangan), parang besi tua
(lasippo), keris emas yang memakai permata
(tatarapang), senjata sakti sebagai atribut raja yang berkuasa
(sudanga), gelang emas berkepala naga (ponto janga-jangaya), kalung
kebesaran (kolara), anting-anting emas murni (bangkarak ta‘roe), dan
kancing emas (kancing gaukang). Selain benda-benda pusaka tersebut, juga
ada beberapa benda impor yang tersimpan di Museum Balla Lompoa turut
dibersihkan, seperti: kalung dari Kerajaan Zulu, Filipina, pada abad XVI;
tiga tombak emas; parang panjang(berang manurung); penning emas murni
pemberian Kerajaan Inggris pada tahun 1814 M.; dan medali emas pemberian
Belanda.Upacara adat yang sakral
ini pertama kali dilaksanakan oleh Raja Gowa yang pertama kali memeluk
Islam, yakni I Mangngarrangi Daeng Mangrabbia Karaeng Lakiung Sultan
Alauddin pada tanggal 9 Jumadil Awal 1051 H. atau 20 September 1605.
Meskipun Raja Gowa XIV itu telah memulainya, namun upacara ini belum
dijadikan sebagai tradisi. Raja Gowa XV, I Mannuntungi Daeng Mattola Karaeng
Ujung Karaeng Lakiung Sultan Malikussaid Tumenanga Ri Papambatuna,
mentradisikan upacara ini pada setiap tanggal 10 Zulhijjah, yakni setiap
selesai shalat Idul Adha. Selanjutnya, Raja Gowa XVI, I Mallombasi Daeng
Mattawang Karaeng Bontomanggape Sultan Hasanuddin Tumenanga ri Balla Pangkana
yang bergelar Ayam Jantan dari timur, memasukkan unsur-unsur Islam ke
dalam upacara ini, yakni penyembelihan hewan kurban.
8.Fort
Rotterdam
Fort
Rotterdam atau Benteng Ujung Pandang (Jum Pandang) adalah sebuah
benteng peninggalan Kerajaan Gowa-Tallo. Letak benteng ini berada di pinggir
pantai sebelah barat Kota Makassar, Sulawesi Selatan.
Nama asli benteng ini
adalah Benteng Ujung Pandang, biasa juga orang Gowa-Makassar menyebut benteng
ini dengan sebutan Benteng Panyyua yang merupakan markas pasukan katak Kerajaan
Gowa. Kerajaan Gowa-Tallo akhirnya menandatangani perjanjian Bungayya yang
salah satu pasalnya mewajibkan Kerajaan Gowa untuk menyerahkan benteng ini
kepada Belanda. Cornelis Speelman sengaja memilih nama Fort Rotterdam untuk
mengenang daerah kelahirannya di Belanda. Benteng ini kemudian digunakan oleh
Belanda sebagai pusat penampungan rempah-rempah di Indonesia bagian timur.
kesimpulan
Sulawesi Selatan memiliki sejarah yang cukup panjang. Selain memiliki sejarah yang cukup panjang, Sulawesi Selatan juga memiliki kesenian dan kebudayaan yang bermacam-macam. Bahkan kebudayaannya sudah terkenal ke berbagai Negara-negara lain di dunia.
Saran
Dari sejarah serta kesenian dan kebudayaan yang ada di Sulawesi Selatan, bisa disimbolkan bahwa negara Indonesia adalah negara yang kaya akan budaya. Namun, ada baiknya jika kekayaan tersebut bisa dilestarikan.
terimakasih kepada : https://saepuldidit30.wordpress.com/2014/11/26/kesenian-dan-kebudayaan-sulawesi-selatan/