KEPEMIMPINAN SBY PADA BENCANA TSUNAMI,
PERDAMAIAN ACEH, DAN KEMENANGAN PARTAI DEMOKRAT PADA PEMILU 2004 DAN 2009
Oleh : Ali Sodikin [1]
A. SBY dan Partai Demokrat
Keberhasilan Partai Demokrat menjadi partai pemenang pada Pemilu Legislatif
tahun 2004 dan 2009 tidak bisa dipisahkan dari keberhasilan dan gaya
kepemimpinan sosok SBY sebagai Ketua Dewan Pembinanya yang sekaligus sebagai
salah seorang pendirinya. Sejarah partai ini tidak bisa dipisahkan dari sosok
SBY yang dari awal telah menggagas, mengusung dan mendirikan partai
dengan ideologi Nasionalis-Religius. Sebagai partai jalan tengah yang berpihak
pada nilai-nilai partai yang tidak berhaluan kiri maupun kanan. Ideologi
nasionalis-religius, hal ini bermakna sebagai kerja keras untuk kepentingan
rakyat dengan landasan moral dan agama serta mempertimbangkan
humanism-pluralisme dalam mencapai tujuan perdamaian demokrasi dan
kesejahteraan.
Tidak bisa dipungkiri, kemajuan partai yang baru berusia belasan tahun,
pencapaian tersebut merupakan prestasi yang fenomenal. Faktor terbesarnya
adalah Karena figur SBY yang menjadi simbol hidup dan tauladan partai. Tokoh
yang muncul sebagai produk sejarah telah membawa Partai Demokrat menjadi partai
besar dan sekaligus menjadikan SBY Presiden dua periode melalui pelpres
langsung pertama dalam sejarah perpolitikan Indonesia.
Figur SBY yang santun, cerdas, bersih dan demokratis mampu membuat Partai
Demokrat melesat hanya dalam waktu kurang dari 10 tahun menjadi partai yang
besar, bahkan mampu menandingi partai-partai besar yang telah ada sejak puluhan
tahun silam, yakni Partai Golkar, PDI Perjuangan dan PPP.
Cikal bakal mengapa SBY mendirikan Partai Demokrat adalah pelajaran dari kekalahannya
menjadi Wapres, bahwa untuk terjun ke politik harus menjunjung norma dan etika
demokrasi. SBY tidak bisa mengandalkan anugerah atau privilege yang
diberikan kekuasaan. Ia harus berjuang melalui partai. Yang kedua, untuk
mencalonkan diri sebagai Presiden atau Wapres, SBY harus memiliki basis partai
politik. Untuk maju dengan mengunakan partai yang sudah besar dan mapam
tidaklah mudah, karena mereka telah memiliki calon masing-masing. Artinya,
siapapun yang mempunyai cita-cita di masa mendatang untuk mencalonkan diri
sebagai Presiden dan Wapres, akan lebih nyaman, kalau memiliki basis partai
politik sendiri. Pikiran inilah yang mendasari SBY untuk membidani kelahiran
Partai Demokrat.
Dengan mengusung jargon politik bersih, cerdas dan santun, serta gerakan
anti korupsi yang dikampanyekan selama Pemilu 2009, perolehan suara Partai
Demokrat terdongkrak lebih dari dua kali lipat dibanding perolehan suara pada
pemilu 2004. Dan SBY sebagai Ketua Dewan Pembina kembali terpilih menjadi
Presiden untuk periode kedua. Hanya dengan satu putaran SBY-Budiono memperoleh
suara sebanyak 73.874.562 atau 60,80 persen.
B. Pasang Surut Popularitas SBY dan Partai Demokrat
Meski pada akhirnya, SBY mampu membawa suara Partai Demokrat naik hampir tiga
kali lipat pada Pemilu Legislatif tahun2009, dari 7,45 persen menjadi 20,85
persen perolehan suara dan sekaligus menjadikan dirinya Presiden untuk kedua
kalinya berpasangan dengan Budiono, bahkan yang terakhir merupakan kemenangan
fenomenal hanya dengan satu putaran mampu meraih suara dukungan rakyat sebanyak
73.874.562 atau 60,80 persen.
Namun, perjalanan politik SBY dan Partai Demokrat tidak selalu mengalami jalan
mulus dan mudah. Status dan kinerja SBY sebagai Presiden sangat mempengaruhi
pasang surut partai. Menurut hasil survei dari Lingkar Survei Indonesia (LSI)
pada September 2007 yang dirilis Suara karya popularitas SBY merosot tajam
hingga angka 35,3 persen. Padahal, di awal pemerintahannya popularitas SBY
sempat mencapai amgka 80 persen. Banyak kalangan menilai selama kurun waktu
2004-2007, SBY telah gagal melakukan perbaikan dan peningkatan, baik di bidang
ekonomi, politik, hukum, penanggulangan kemiskinan dan pengangguran serta
penanganan keamanan. Hanya 13,4 persen pemilih yang menganggap gerakan
antikorupsi SBY itu adil, semua kasus diperiksa dan diperlakukan sama. Bahkan
hanya 39,3 persen pemilih yang yakin akan kemampuan SBY dalam menangani masalah
bangsa.
Sementara hasil survei yang dirilis CSIS 24 Juli 2008 dari hasil survei 11-17
Mei 2008 tentang perilaku pemilih Indonesia, Partai Demokrat hanya
menempati urutan nomor lima. Untuk dukungan terhadap partai politik di berbagai
kelompok masyarakat, 70 persen pemilih Indonesia sudah menentukan pilihannya.
Dan PDI-P merupakan partai politik yang saat ini memperoleh dukungan terbanyak
(20,3 persen). Diikuti Partai Golkar, PKS, PKB, dan Partai Demokrat.
C. Sosok SBY dan Pemikiran Kebangsaan
SBY lahir tanggal 9 September 1949 di Pacitan Jawa Timur dari keluarga tentara.
Putra tunggal R. Soekotjo dan Siti Habibah. Sebagai lulusan terbaik
Akabri Darat 1973, SBY langsung bergabung dengan kesatuan elit Kostrad sebagai
komandan peleton tiga di Kompi Senapan A Batalyon Lintas Udara 330/Tri Dharma
Brigif Linud 17/Kujang I.
Selanjutnya menjadi komandan peleton mortir 330, Pasi 2/Ops Mabigif Linud 17,
Komandan Kompi Senapan C Yonif Linud 330/Tri Dhrama, Komandan Yonif 744 pemukul
Kodam Udayana di Timor Timur. Komandan Brigif 17/Kujang I Kostrad.
Komandan Korem 073 Kodam IV/Diponegoro di Yogyakarta. Setelah menjadi Perwira PBB
di Bosnia, SBY menjadi Kepala Staf Kodam Jaya tahun 1996, 23 Agustus 1996 SBY
menjadi Panglima Kodam II/Sriwijaya di Pelembang. 26 Agustus 1997, SBY menjadi
Assospol-Kassospol ABRI. 12 Februari 1998 menjadi Kassospol ABRI. Jabatan
militer terakhir SBY adalah Kepala Staf Teritorial ABRI.
Pemikiran SBY tentang politik kebangsaan dan kepemimpinan selain dipengaruhi
dari latar belakang pendidikan dan penugasan di militer, namun juga dari para
pemikir lainnya semisal Alvin Toffler. Interaksi SBY dengan Futurolog tersebut
ketika menjadi Dosen Militer di Seskoad tahun 1990-an. Bersama Letkol Agus
Wirahadikusumah mendirikanCenter of Exelence. Bersama
Kolonel Luhut Panjaitan, SBY mendatangkan Alvin Toffler ke Seskoad untuk
menjadi pembicara dalam seminarPowership and the Military di
Bandung.
D. Gaya Komunikasi SBY
Menurut John Baldoni dalam pengantar buku Great Communication
Secrets of Great Leaders (2003), “ So in every real sense,
leadership effectiveness, both for presidents and for anyone in a position
of authority, depends to a high degree upon good communications skills”.
keberhasilan seorang pemimpin, termasuk presiden, seseungguhnya sangat
ditentukan oleh kepiawaiannya berkomunikasi. Melalui komunikasi, pemimpin
membangun trust (kepercayaan) pada rakyat atau pengikutnya.
Trust, menurut Crossman, seorang ahli propaganda-merupakan modal utama
pemimpin. Jika rakyat percaya pada pemimpinnya, mereka biasanya akan mendukung
kebijakan-kebijakannya. Pemimpin yang mampu melahirkan kepercayaan, besar
kemungkinan juga mampu menggalang kerja sama, bahkan dengan unsur-unsur
masyarakat yang selama ini bersikap sinis terhadap kepemimpinannya sekalipun
(Gardener, 1990:33).
Tjipta Lesamana, memaparkan secara detail bagaimana gaya dan pola
komunikasi SBY. Tjipta menggambarkan SBY adalah sosok yangperfectionist,
misalnya jika SBY tampil di publik, apalagi di tengah sorotan puluhan kamera
wartawan, maka penampilannya sangat diperhatikan. Busana yang dandy, rambut
yang disisir rapi, wajah ceria penuh senyum, tutur kata yang tertata rapi,
seolah dikemas sangat prima sehingga nyaris “tidak ada cacat”.
Secara garis besar Prof. Tjipta Lesmana menilai SBY seorang demokratis,
menghargai perbedaan pendapat tetapi selalu defensif jika dikritik. SBY
ultra hati-hati dalam segala hal sehingga terkesan bimbang dan ragu. Konteks
bahasa : antara tinggi dan rendah, tetapi kecenderungannya tinggi. Sebagai
seorang perfectionist, SBY selalu berusaha berkomunikasi dengan
bahasa tubuh dan verbal yang sempurna. Kata dan kalimat diucapkan jelas sekali,
diperkuat oleh intonasi dan suara yang mantap.
E. Gaya Kepemimpinan SBY
Gaya kepemimpinan SBY oleh para pengkritinya, dianggap lamban, peragu dan
sebagainya. Namun menurut Juwono Sudarso, kepemimpinan SBY adalah model
rekontruktif. SBY sebenarnya ingin berperan sebagai rekonsiliator di panggung
Indonesia karena melihat luka-luka dan hiruk-pikuk reformasi sejak Mei 1998 itu
(telah) menimbulkan kegaduhan sehingga perlu diturunkan suhunya. Self-image-nya
sebagai rekonsiliator mengharuskan SBY merangkul semua pihak. Ia berupaya keras
untuk tidak menciptakan musuh. Sebaliknya, SBY terkesan kuat ingin
membahagiakan semua orang.
Lebih lengkap bagaimana gaya kepemimpinan SBY dapat ditelusuri dari catatan Dr.
Dino Patti Jalal dalam catatan hariannya Seni Memimpin A la SBY. Setiap
pemimpin mempunyai sisi penampilan luar dan sisi dalam. Di luar ia bisa tampak
tenang, walaupun ia konflik batin. Di luar ia bicara kemenangan, dalam hati
berfikir mengenai resiko. Sisi luar SBY sudah banyak disorot media. Yang belum
banyak diketahui adalah apa yang terjadi di belakang layar, dan di dalam kantor
Prsiden. Dino mendapat berkah ‘the best seat in the class of history’, dapat
menyaksikan langsung Presiden SBY dari samping dan belakangnya, membaca raut
muka, melihat tetesan keringat, mengikuti liku-liku proses pemikirannya, dan
memahami resiko yang diambilnya.
F. Memimpin Dalam Krisis; Menangani Bencana Tsunami Aceh
1. Dalam Krisis Pemimpin Harus Selalu Di Depan.
Bencana tsunamai Aceh memakan ratusan ribu korban jiwa, kerugian ratusan miliar
rupiah, serta kerusakan struktur dan infrastruktur pemerintah daerah yang
sangat parah. Saat kejadian, 26 Desember 2004, SBY sedang berada di Papua
setelah habis memberi bantuan korban gempa di Nabire Papua.
Sementara informasi tentang kondisi Aceh sangat minim ; setetes demi
setetes namun kualitasnya tidak jelas dan tidak bisa dibuktikan kebenarannya,
karena lebih banyak bersifat perkiraan, dan setiap informasi baru selalu
lebih buruk dari informasi sebelumnya.
Menghadapi kegelapan informasi (information blackout) banyak pembatunya
menyarankan untuk ke Jakarta lebih dahulu karena kondisi Aceh tidak menentu.
Namun SBY sebagai seorang pemimpin menunjukkan keputusan yang berbeda. “Ini
keadaan yang serius, dan bisa menjadi krisis nasional, oleh karena itu saya
harus segara ke depan”.
Presiden SBY segera menugaskan Sekretaris Militer untuk mengatur penerbangan
dari Jayapura ke Aceh. Rapat Kabinet darurat segera digelar malam itu
juga di kediaman Gubernur Papua. Esok paginya SBY segera terbang dari Jayapura
langsung ke Aceh. Memberi perhatian mendasar pada pemimpin daerah, Gubernur,
Pangdam, Kapolda Aceh beserta seluruh komponen organisasinyan tentang
tugas-tugas dan penanganan tanggap darurat bencana.
Karena pesawatnya kecil, harus transit di Makasar dan Batam untuk mengisi bahan
bakar. Sore hari SBY sampai di Lhokseumawe. Dibandara segera meminta laporan
dari Gubernur, Pangdam dan Kapolda. SBY segera mengeluarkan instruksi yang
bersifat operasional untuk melakukan langkah-langkah tanggap darurat. Intinya
penyelamatan jiwa penduduk, perawatan korban, SAR, dan bantuan pangan. SBY
tidak tidur malam itu. Nalurinya sebagai Jenderal mendorong perintah cepat dan
merencanakan strategi dan aksi penanganan bencana yang luar biasa ini.
Pertama, SBY dapat melihat sendiri skala kematian dan kerusakan akibat gempa
dan tsunami. SBY melihat sendiri mayat-mayat yang bergelimpangan di jalan,
penderitaan luar biasa ribuan rakyat Aceh yang masih hidup namun kehilangan
keluarga dan rumahnya. SBY melihat sendiri Aceh lumpuh total, dari segi
komunikasi, transportasi, listrik, bensin, pelayanan masyarakat, infrastruktur,
dan lain sebagainya. Dengan berada ‘didepan’ kondisi penderitaan yang luar
biasa ini benar-benar masuk ke sukma SBY. Pemahaman seperti itu tidak mungkin
didapat SBY kalau hanya membaca laporan tertulis atau mendengar paparan lisan
di Istana.
Kedua, kehadiran SBY sebagai Presiden berdampak mengangkat semangat petugas di
lapangan yang waktu itu sangat terpukul, baik karena kehilangan keluarganya,
rekan-rekan mereka, maupun karena mata rantai komando yang tercerai berai.
Ketiga, walaupun siaran radio, televisi, dan telepon lumpuh, kehadiran SBY
penting untuk menunjukkan kepada rakyat Aceh bahwa pemerintah pusat memberiikan
perhatian penuh dan dukungan total untuk membantu mereka keluar dari bencana
ini.
Keempat, keberadaan SBY di garis ‘depan’ menurut Dino Patti Jalal menungkinkan
SBY membuat penilaian yang diperlukan untuk menentukan rencana aksi Pemerintah
Pusat, terutama operasi tanggap darurat. Sampai di Jakarta SBY langsung
menggelar rapat kabinet darurat dimana SBY memberi instruksi yang tepat, jelas,
praktis, dan responsif terhadap kondisi aktual di lapangan: mengirim bantuan
TNI dan Polri untuk operasi penyelamatan dan tanggap darurat, mengirim KRI ke
Meulaboh, dan Hercules ke Banda Aceh, mencari ribuan kantong jenazah; mencari
kuburan missal untuk jenazah yang ditemukan, mengirim BBM, makanan dan air
bersih; menghidupkan kembali listrik dan jalur telepon; menentukkan jumlah
tenda yang dibutuhkan untuk pengungsi; mengirim dokter tambahan; mengirim truk
ke Medan; dan lain sebagainya.
SBY tahu misi yang paling penting dan mendesak adalah penyelamatan nyawa orang.
Yang selamat harus ditolong, yang sakit harus segera dirawat, yang kehilangan
rumah harus segera ditampung, yang meninggal harus seger dikubur. Semua yang
beruntung hidup harus diberikan makanan, air bersih dan obat-obatan. SBY Segera
mengerahkan TNI dan Polri untuk secara maksimal menjadi juru operasi tanggap
darurat. Kapal serta pesawat Hercules yang membawa personil, peralatan dan
barang segera berangkat ke Banda Aceh., Meulaboh dan Medan. Menko Kesra Alwi
Shihab yang ditugaskan SBY untuk terus tinggal di Aceh, memimpin langsung
satuan Koordinasi Pelaksana (Satkorlak) yang baru dibentuk.
Ketika semua perangkat sudah berangkat ke Aceh, ternyata kondisi lapangan
sangat parah, bantuan, petugas dan dokter-dokter sulit bergerak karena
jalan-jalan dan jembatan hancur. Sementara untuk mencari satu truk saja
sulitnya luar biasa. Semua kendaraan di Aceh hancur terkena musibah tsunami.
SBY segera mengambil keputusan yang sangat strategis untuk menangani krisis
tsunami; membuka Aceh secara total pada dunia luar, baik militer maupun LSM.
Tanggal 29 Desember 2004, Pemerintah Indonesia mengumumkan ‘open sky
policy’ untuk Aceh dan Nias. Setelah itu, di Meulaboh tanggal 31
Desember 2004, SBY melalui media nasional dan internasional menghimbau dunia
agar menunjukkan ‘solidaritas global’terhadap para korban tsunami, bukan hanya
di Indonesia, namun juga di negara-negara lain di sekitar Samudera India.
Kebijakan baru ini, karena tidak ada istilah baku, dapat disebut sebagai ‘open
door policy’.
Dengan kebijakan itu, Aceh menjadi terbuka untuk segala pesawat dan kapal
negara sahabat yang bertujuan membantu tsunami. Hal ini berlaku bagi militer
maupun LSM internasional. Pekerja kemanusiaan dari manapun kini bisa masuk ke
Aceh tanpa visa. Wartawan juga bebas keluar masuk, karena SBY ingin dunia
melihat dan merasakan penderitaan rakyat di Aceh dan Nias.
Keputusan open door policy ini bukan keputusan yang mudah.
Pertama, kebijakan ini diterapkan di Provinsi yang-setelah 30 tahun dirundung
konflik-dikenal ‘tertutup’ dibanding provinsi Indonesia lainnya. Kedua,
sepanjang sejarah Republik Indonesia, belum pernah ada pasukan internasional
yang masuk dan beroperasi di wilayah Indonesia.
Ketiga, TNI belum berpengalaman mengatur operasi militer kemanusiaan seperti
ini. TNI sudah sering melakukan latihan gabungan dengan militer negara sahabat,
namun tidak pernah melakukan operasi kemanusiaan besr-besaran dalam skala
internasional seperti ini. Keempat, kehadiran pasukan asing dapat menimbulkan
resiko politik di dalam negeri, karena rakyat dan elit politik tidak biasa
melihat pasukan asing di bumi Indonesia.
SBY memahami sekali semua hal ini, namun ia berfikir sangat jernih dan sangat
fokus pada misi, yakni untuk meyelamatkan rakyat, bukan berpolitik. Semua
dilakukan dibawah koordinasi mantan Menko Kesra Alwi Shihab, dibantu Letjen
Bambang Darmono (Mayjen pada saat itu), sama seperti SBY, dilapangan kedua
tokoh ini juga dipaksa keadaan untuk selalu improved style untuk think
outside the box, karena sepanjang karirnya, mereka tidak pernah menghadapi
krisis seperti itu.
2. Mengubah Krisis Menjadi Peluang; Perdamaian Baru Dengan GAM
Jenderal Charles De Gaulle, pemimpin legendaris Perancis dalam buku “Sword of
Power”, menyatakan pemimpin harus mempunyai intelek, namun lebih penting
lagi, ia harus mempunyai naluri, semacam indera keenam untuk membaca
situasi yang tidak terbaca orang awam.
Menurut Dino, SBY sering bertindak mengikuti naluri politiknya, yang anehnya
hampir selalu benar. Begitu juga tentang bencana tsunami Aceh, SBY diam-diam
melihat satu peluang. Mungkinkah tsunami mengakibatkan perdamaian, mungkinkah
penderitaan rakyat yang begitu luar biasa menciptakan dorongan moral dan
politik untuk mengakhiri konflik yang sudah 30 tahun membara di Aceh,
mungkinkah dimulai perundingan baru dengan GAM. Pertanyaan teoritis yang
menarik, namun dari segi politik praktis sangat berat.
SBY memahami sekali bahwa masalah utama untuk memulai kembali perundingan
adalah lemahnya kepercayaan antara kedua belah pihak, terutama karena sejarah
perundingan dan kesepakatan antara pemerintah dan GAM yang beberapa kali
kandas. Disinilah SBY terlihat ciri kepemimpinan yang penting; selalu berfikir
ke depan, selalu mencari peluang dan solusi, selalu memetik pelajaran dari masa
lalu.
Awal januari SBY berhasil melakukan kontak per telepon dengan komandan GAM di
Aceh, Muzakkir Manaf. Dari pembicaraan itu, SBY mendapat kesimpulan penting;
akibat bencana tsunami, AGAM sebenarnya bersedia mengakhiri konflik, namun
harus ada instruksi dari pimpinan politik mereka di luar negeri. Jelas sudah,
untuk ke depan, kuncinya adalah pemimpin poltik GAM di luar negeri; Hasan Di
Tiro, Malik Mahmud, Zaini Abdullah.
Setelah melakukan perundingan berkali-kali, maka tanggal 5 Agustus 2005, pada
perundingan ronde ke-5 ditandatanganilah MoU Helsinki oleh
wakil Pemerintah RI Hamid Awaluddin dan wakil GAM, Malik Mahmud. Sejak
itu Aceh membuka lembaran sejarah baru; lembaran damai dan rekonsiliasi.
G. Kesimpulan
Berdasarkan uraian yang sudah disampaikan pada bab-bab sebelumnya, maka
kesimpulan yang dapat diambil adalah sebagai berikut :
1. Kemampuan SBY, Krisis Aceh dan Perdamaian Dengan GAM
Sebagai pemimpin SBY mampu menjadikan dan mengubah krisis menjadin peluang
dengan tercapainya perdamaian di Aceh, yang telah berkonflik dengan Pemerintah
Indonesia selama kurun waktu 30 tahun terakhir, dan belum ada satu Presiden-pun
yang mampu menanganinya.
SBY mampu mengambil kebijakan yang tidak populer, justru pada saat dimana
semuanya masih terpaku dengan bencana tsunami, SBY mulai berfikir mengenai
peluang perdamaian. Pada saat dimana elit politik sangat alergi terhadap GAM, SBY
justru mengambil resiko, mempertaruhkan kredibiltasnya, menempuh proses
perdamaian baru dengan GAM.
Perlu diketahui, bahwa pada waktu itu, Cessation of Hostilities agreement
(COHA) yang difasilitasi oleh Henry Dunant Center untuk perundingan Pemeritah RI-GAM
sudah 20 bulan ambruk, dan semenjak itu di Aceh diberlakukan Darurat Sipil.
Secara politis prospek berunding lagi dengan GAM tidak lagi populer di mata
elit politik dan sebagian masyarakat.
Pada saat elit politik masih penuh keraguan, SBY justru melangkah maju dengan
keyakinan mendobrak dinding konflik. Pendeknya, SBY dengan mendengarkan nalurin
politikny, memanfaatkan peluang, mengambil resiko dan mengukir sejarah. Sejarah
pasti mencatat ada anak bangsa yang ikut membuat sejarah, SBY, JK, Endriartono
Sutarto, Hamid Awalluddin, dan sejumlah pelaku lainnya.
Akibat dari perdamaian Aceh, pamor Indonesia melambung dan kredibilitas
Indonesia sebagai negara demokrasi mapan yang mampu menyembuhkan konflik
internal meningkat pesat. Tahun itu juga, Presiden SBY dicalonkan sebagai salah
satu kandidat Nobel Perdamaian.
2. Kemenangan Demokrat Pada Pemilu 2009
Meski pada tahun 2008, banyak kalangan menyatakan berdasar hasil survei
popularitas SBY merosot, begitu juga dengan perolehan suara Partai Demokrat
diperkirakan bakal turun hanya mencapai sekitar 9,6 persen menurut survei Indo
Barometer, begitu juga dengan survei LSI Denny JA serta survei CSIS. Posisi
Partai Demokrat hanya menempati urutan ketiga setelah PDI-P dan Pertai Golkar,
namun pada kenyataannya, hasil Pemilu Legislatif tahun 2009, Partai Demokrat
mampu mencapai kemenangan yang fenomenal. Dengan perolehan suara sebesar 150
kursi Di DPR RI dan mendapat suara sebesar 20,85 persen naik hampir tiga kali
lipat perolehan suara pada Pemilu 2004 sebesar 7,45 persen. Bahkan SBY-Budiono
mampu menang satu putaran dan memperoleh suara sebesar 60,80 persen pada
Pilpres 2009.
Menurut pengamat politik Doddy Ambardi, ada tiga faktor yang menyebabkan
perolehan suara Partai Demokrat di Pemilu Legislatif jauh meninggalkan Partai
Golkar dan PDI-P. pertama, citra tokoh sentral yaitu SBY sangat bagus, SBY
adalah Ketua Dewan Pembina Demokrat dan sekaligus Roh partai itu. Citra yang
baik itu diikuti popularitas yang melebihi tokoh lain. Itulah kekuatan mereka
dalam memobilisasi massa pemilih. Hasilnya sangat bagus, bahkan, melampaui
dukungan terhadap Partai Demokrat sendiri. Dukungan kepada SBY dua kali lipat
daripada dukungan kepada partainya sendiri.
Kedua, Partai Demokrat diuntungkan oleh posisi SBY yang menjadi incumbent.
Posisi ini, mempunyai pengaruh besar untuk memikat pemilih. Karena bisa
mengklaim program pemerintah jadi program mereka. Jadi semacam penyederhanaan
program. Yang ketiga, kampanye yang terus menerus dilakukan Partai Demokrat
memperluas jangkauan pemilih partai itu.