Selasa, 24 November 2015

KEPEMIMPINAN SBY PADA BENCANA TSUNAMI, PERDAMAIAN ACEH, DAN KEMENANGAN PARTAI DEMOKRAT PADA PEMILU 2004 DAN 2009
Oleh : Ali Sodikin [1]

A. SBY dan Partai Demokrat

Keberhasilan Partai Demokrat menjadi partai pemenang pada Pemilu Legislatif tahun 2004 dan 2009 tidak bisa dipisahkan dari keberhasilan dan gaya kepemimpinan sosok SBY sebagai Ketua Dewan Pembinanya yang sekaligus sebagai salah seorang pendirinya. Sejarah partai ini tidak bisa dipisahkan dari sosok SBY  yang dari awal telah menggagas, mengusung dan mendirikan partai dengan ideologi Nasionalis-Religius. Sebagai partai jalan tengah yang berpihak pada nilai-nilai partai yang tidak berhaluan kiri maupun kanan. Ideologi nasionalis-religius, hal ini bermakna sebagai kerja keras untuk kepentingan rakyat dengan landasan moral dan agama serta mempertimbangkan humanism-pluralisme dalam mencapai tujuan perdamaian demokrasi dan kesejahteraan.

Tidak bisa dipungkiri, kemajuan partai yang baru berusia belasan tahun, pencapaian tersebut merupakan prestasi yang fenomenal. Faktor terbesarnya adalah Karena figur SBY yang menjadi simbol hidup dan tauladan partai. Tokoh yang muncul sebagai produk sejarah telah membawa Partai Demokrat menjadi partai besar dan sekaligus menjadikan SBY Presiden dua periode melalui pelpres langsung pertama dalam sejarah perpolitikan Indonesia.

Figur SBY yang santun, cerdas, bersih dan demokratis mampu membuat Partai Demokrat melesat hanya dalam waktu kurang dari 10 tahun menjadi partai yang besar, bahkan mampu menandingi partai-partai besar yang telah ada sejak puluhan tahun silam, yakni Partai Golkar, PDI Perjuangan dan PPP.

Cikal bakal mengapa SBY mendirikan Partai Demokrat adalah pelajaran dari kekalahannya menjadi Wapres, bahwa untuk terjun ke politik harus menjunjung norma dan etika demokrasi. SBY tidak bisa mengandalkan anugerah atau privilege yang diberikan kekuasaan. Ia harus berjuang melalui partai. Yang kedua, untuk mencalonkan diri sebagai Presiden atau Wapres, SBY harus memiliki basis partai politik. Untuk maju dengan mengunakan partai yang sudah besar dan mapam tidaklah mudah, karena mereka telah memiliki calon masing-masing. Artinya, siapapun yang mempunyai cita-cita di masa mendatang untuk mencalonkan diri sebagai Presiden dan Wapres, akan lebih nyaman, kalau memiliki basis partai politik sendiri. Pikiran inilah yang mendasari SBY untuk membidani kelahiran Partai Demokrat.

Dengan  mengusung jargon politik bersih, cerdas dan santun, serta gerakan anti korupsi yang dikampanyekan selama Pemilu 2009, perolehan suara Partai Demokrat terdongkrak lebih dari dua kali lipat dibanding perolehan suara pada pemilu 2004. Dan SBY sebagai Ketua Dewan Pembina kembali terpilih menjadi Presiden untuk periode kedua. Hanya dengan satu putaran SBY-Budiono memperoleh suara sebanyak 73.874.562 atau 60,80 persen.

B. Pasang Surut Popularitas SBY dan Partai Demokrat

Meski pada akhirnya, SBY mampu membawa suara Partai Demokrat naik hampir tiga kali lipat pada Pemilu Legislatif tahun2009, dari 7,45 persen menjadi 20,85 persen perolehan suara dan sekaligus menjadikan dirinya Presiden untuk kedua kalinya berpasangan dengan Budiono, bahkan yang terakhir merupakan kemenangan fenomenal hanya dengan satu putaran mampu meraih suara dukungan rakyat sebanyak 73.874.562 atau 60,80 persen.

Namun, perjalanan politik SBY dan Partai Demokrat tidak selalu mengalami jalan mulus dan mudah. Status dan kinerja SBY sebagai Presiden sangat mempengaruhi pasang surut partai. Menurut hasil survei dari Lingkar Survei Indonesia (LSI) pada September 2007 yang dirilis Suara karya popularitas SBY merosot tajam hingga angka 35,3 persen. Padahal, di awal pemerintahannya popularitas SBY sempat mencapai amgka 80 persen. Banyak kalangan menilai selama kurun waktu 2004-2007, SBY telah gagal melakukan perbaikan dan peningkatan, baik di bidang ekonomi, politik, hukum, penanggulangan kemiskinan dan pengangguran serta penanganan keamanan. Hanya 13,4 persen pemilih yang menganggap gerakan antikorupsi SBY itu adil, semua kasus diperiksa dan diperlakukan sama. Bahkan hanya 39,3 persen pemilih yang yakin akan kemampuan SBY dalam menangani masalah bangsa.

Sementara hasil survei yang dirilis CSIS 24 Juli 2008 dari hasil survei 11-17 Mei 2008 tentang perilaku pemilih Indonesia,  Partai Demokrat hanya menempati urutan nomor lima. Untuk dukungan terhadap partai politik di berbagai kelompok masyarakat, 70 persen pemilih Indonesia sudah menentukan pilihannya. Dan PDI-P merupakan partai politik yang saat ini memperoleh dukungan terbanyak (20,3 persen). Diikuti Partai Golkar, PKS, PKB,  dan Partai Demokrat.

C. Sosok SBY dan Pemikiran Kebangsaan

SBY lahir tanggal 9 September 1949 di Pacitan Jawa Timur dari keluarga tentara. Putra tunggal  R. Soekotjo dan Siti Habibah. Sebagai lulusan terbaik Akabri Darat 1973, SBY langsung bergabung dengan kesatuan elit Kostrad sebagai komandan peleton tiga di Kompi Senapan A Batalyon Lintas Udara 330/Tri Dharma Brigif Linud 17/Kujang I.

Selanjutnya menjadi komandan peleton mortir 330, Pasi 2/Ops Mabigif Linud 17, Komandan Kompi Senapan C Yonif Linud 330/Tri Dhrama, Komandan Yonif 744 pemukul Kodam Udayana di Timor Timur. Komandan Brigif  17/Kujang I Kostrad. Komandan Korem 073 Kodam IV/Diponegoro di Yogyakarta. Setelah menjadi Perwira PBB di Bosnia, SBY menjadi Kepala Staf Kodam Jaya tahun 1996, 23 Agustus 1996 SBY menjadi Panglima Kodam II/Sriwijaya di Pelembang. 26 Agustus 1997, SBY menjadi Assospol-Kassospol ABRI. 12 Februari 1998 menjadi Kassospol ABRI. Jabatan militer terakhir SBY adalah Kepala Staf Teritorial ABRI.

Pemikiran SBY tentang politik kebangsaan dan kepemimpinan selain dipengaruhi dari latar belakang pendidikan dan penugasan di militer, namun juga dari para pemikir lainnya semisal Alvin Toffler. Interaksi SBY dengan Futurolog tersebut ketika menjadi Dosen Militer di Seskoad tahun 1990-an. Bersama Letkol Agus Wirahadikusumah mendirikanCenter of Exelence. Bersama Kolonel Luhut Panjaitan, SBY mendatangkan Alvin Toffler ke Seskoad untuk menjadi pembicara dalam seminarPowership and the Military di Bandung.

D. Gaya Komunikasi SBY

Menurut John Baldoni dalam pengantar buku Great Communication Secrets of Great Leaders (2003), “ So in every real sense, leadership effectiveness, both for presidents and for anyone in a position of authority, depends to a high degree upon good communications skills”. keberhasilan seorang pemimpin, termasuk presiden, seseungguhnya sangat ditentukan oleh kepiawaiannya berkomunikasi. Melalui komunikasi, pemimpin membangun trust (kepercayaan) pada rakyat atau pengikutnya. Trust, menurut Crossman, seorang ahli propaganda-merupakan modal utama pemimpin. Jika rakyat percaya pada pemimpinnya, mereka biasanya akan mendukung kebijakan-kebijakannya. Pemimpin yang mampu melahirkan kepercayaan, besar kemungkinan juga mampu menggalang kerja sama, bahkan dengan unsur-unsur masyarakat yang selama ini bersikap sinis terhadap kepemimpinannya sekalipun (Gardener, 1990:33).

Tjipta Lesamana, memaparkan secara detail  bagaimana gaya dan pola komunikasi SBY. Tjipta menggambarkan SBY adalah sosok yangperfectionist, misalnya jika SBY tampil di publik, apalagi di tengah sorotan puluhan kamera wartawan, maka penampilannya sangat diperhatikan. Busana yang dandy, rambut yang disisir rapi, wajah ceria penuh senyum, tutur kata yang tertata rapi, seolah dikemas sangat prima sehingga nyaris “tidak ada cacat”.

Secara garis besar Prof. Tjipta Lesmana menilai SBY  seorang demokratis, menghargai perbedaan pendapat tetapi selalu defensif  jika dikritik. SBY ultra hati-hati dalam segala hal sehingga terkesan bimbang dan ragu. Konteks bahasa : antara tinggi dan rendah, tetapi kecenderungannya tinggi. Sebagai seorang perfectionist, SBY selalu berusaha berkomunikasi dengan bahasa tubuh dan verbal yang sempurna. Kata dan kalimat diucapkan jelas sekali, diperkuat oleh intonasi dan suara yang mantap.

E. Gaya Kepemimpinan SBY

Gaya kepemimpinan SBY oleh para pengkritinya, dianggap lamban, peragu dan sebagainya. Namun menurut Juwono Sudarso, kepemimpinan SBY adalah model rekontruktif. SBY sebenarnya ingin berperan sebagai rekonsiliator di panggung Indonesia karena melihat luka-luka dan hiruk-pikuk reformasi sejak Mei 1998 itu (telah) menimbulkan kegaduhan sehingga perlu diturunkan suhunya. Self-image-nya sebagai rekonsiliator mengharuskan SBY merangkul semua pihak. Ia berupaya keras untuk tidak menciptakan musuh. Sebaliknya, SBY terkesan kuat ingin membahagiakan semua orang.

Lebih lengkap bagaimana gaya kepemimpinan SBY dapat ditelusuri dari catatan Dr. Dino Patti Jalal dalam catatan hariannya Seni Memimpin A la SBY. Setiap pemimpin mempunyai sisi penampilan luar dan sisi dalam. Di luar ia bisa tampak tenang, walaupun ia konflik batin. Di luar ia bicara kemenangan, dalam hati berfikir mengenai resiko. Sisi luar SBY sudah banyak disorot media. Yang belum banyak diketahui adalah apa yang terjadi di belakang layar, dan di dalam kantor Prsiden. Dino mendapat berkah ‘the best seat in the class of history’, dapat menyaksikan langsung Presiden SBY dari samping dan belakangnya, membaca raut muka, melihat tetesan keringat, mengikuti liku-liku proses pemikirannya, dan memahami resiko yang diambilnya.

F. Memimpin Dalam Krisis; Menangani Bencana Tsunami Aceh

1. Dalam Krisis Pemimpin Harus Selalu Di Depan.

Bencana tsunamai Aceh memakan ratusan ribu korban jiwa, kerugian ratusan miliar rupiah, serta kerusakan struktur dan infrastruktur pemerintah daerah  yang sangat parah. Saat kejadian, 26 Desember 2004, SBY sedang berada di Papua setelah habis memberi bantuan korban gempa di Nabire Papua.

Sementara informasi tentang kondisi Aceh sangat minim ;  setetes demi setetes namun kualitasnya tidak jelas dan tidak bisa dibuktikan kebenarannya, karena lebih banyak bersifat perkiraan, dan  setiap informasi baru selalu lebih buruk dari informasi sebelumnya.

Menghadapi kegelapan informasi (information blackout) banyak pembatunya menyarankan untuk ke Jakarta lebih dahulu karena kondisi Aceh tidak menentu. Namun SBY sebagai seorang pemimpin menunjukkan keputusan yang berbeda. “Ini keadaan yang serius, dan bisa menjadi krisis nasional, oleh karena itu saya harus segara ke depan”.

Presiden SBY segera menugaskan Sekretaris Militer untuk mengatur penerbangan dari Jayapura ke Aceh.  Rapat Kabinet darurat segera digelar malam itu juga di kediaman Gubernur Papua. Esok paginya SBY segera terbang dari Jayapura langsung ke Aceh. Memberi perhatian mendasar pada pemimpin daerah, Gubernur, Pangdam, Kapolda Aceh  beserta seluruh komponen organisasinyan tentang tugas-tugas dan penanganan tanggap darurat bencana.

Karena pesawatnya kecil, harus transit di Makasar dan Batam untuk mengisi bahan bakar. Sore hari SBY sampai di Lhokseumawe. Dibandara segera meminta laporan dari Gubernur, Pangdam dan Kapolda. SBY segera mengeluarkan instruksi yang bersifat operasional untuk melakukan langkah-langkah tanggap darurat. Intinya penyelamatan jiwa penduduk, perawatan korban, SAR, dan bantuan pangan. SBY tidak tidur malam itu. Nalurinya sebagai Jenderal mendorong perintah cepat dan merencanakan strategi dan aksi penanganan bencana yang luar biasa ini.

Pertama, SBY dapat melihat sendiri skala kematian dan kerusakan akibat gempa dan tsunami. SBY melihat sendiri mayat-mayat yang bergelimpangan di jalan, penderitaan luar biasa ribuan rakyat Aceh yang masih hidup namun kehilangan keluarga dan rumahnya. SBY melihat sendiri Aceh lumpuh total, dari segi komunikasi, transportasi, listrik, bensin, pelayanan masyarakat, infrastruktur, dan lain sebagainya. Dengan berada ‘didepan’ kondisi penderitaan yang luar biasa ini benar-benar masuk ke sukma SBY. Pemahaman seperti itu tidak mungkin didapat SBY kalau hanya membaca laporan tertulis atau mendengar paparan lisan di Istana.

Kedua, kehadiran SBY sebagai Presiden berdampak mengangkat semangat petugas di lapangan yang waktu itu sangat terpukul, baik karena kehilangan keluarganya, rekan-rekan mereka, maupun karena mata rantai komando yang tercerai berai. Ketiga, walaupun siaran radio, televisi, dan telepon lumpuh, kehadiran SBY penting untuk menunjukkan kepada rakyat Aceh bahwa pemerintah pusat memberiikan perhatian penuh dan dukungan total untuk membantu mereka keluar dari bencana ini.

Keempat, keberadaan SBY di garis ‘depan’ menurut Dino Patti Jalal menungkinkan SBY membuat penilaian yang diperlukan untuk menentukan rencana aksi Pemerintah Pusat, terutama operasi tanggap darurat. Sampai di Jakarta SBY langsung menggelar rapat kabinet darurat dimana SBY memberi instruksi yang tepat, jelas, praktis, dan responsif terhadap kondisi aktual di lapangan: mengirim bantuan TNI dan Polri untuk operasi penyelamatan dan tanggap darurat, mengirim KRI ke Meulaboh, dan Hercules ke Banda Aceh, mencari ribuan kantong jenazah; mencari kuburan missal untuk jenazah yang ditemukan, mengirim BBM, makanan dan air bersih; menghidupkan kembali listrik dan jalur telepon; menentukkan jumlah tenda yang dibutuhkan untuk pengungsi; mengirim dokter tambahan; mengirim truk ke Medan; dan lain sebagainya.

SBY tahu misi yang paling penting dan mendesak adalah penyelamatan nyawa orang. Yang selamat harus ditolong, yang sakit harus segera dirawat, yang kehilangan rumah harus segera ditampung, yang meninggal harus seger dikubur. Semua yang beruntung hidup harus diberikan makanan, air bersih dan obat-obatan. SBY Segera mengerahkan TNI dan Polri untuk secara maksimal menjadi juru operasi tanggap darurat. Kapal serta pesawat Hercules yang membawa personil, peralatan dan barang segera berangkat ke Banda Aceh., Meulaboh dan Medan. Menko Kesra Alwi Shihab yang ditugaskan SBY untuk terus tinggal di Aceh, memimpin langsung satuan Koordinasi Pelaksana (Satkorlak) yang baru dibentuk.

Ketika semua perangkat sudah berangkat ke Aceh, ternyata kondisi lapangan sangat parah, bantuan, petugas dan dokter-dokter sulit bergerak karena jalan-jalan dan jembatan hancur. Sementara untuk mencari satu truk saja sulitnya luar biasa. Semua kendaraan di Aceh hancur terkena musibah tsunami.

SBY segera mengambil keputusan yang sangat strategis untuk menangani krisis tsunami; membuka Aceh secara total pada dunia luar, baik militer maupun LSM. Tanggal 29 Desember 2004, Pemerintah Indonesia mengumumkan ‘open sky policy’ untuk Aceh dan Nias. Setelah itu, di Meulaboh tanggal 31 Desember 2004, SBY melalui media nasional dan internasional menghimbau dunia agar menunjukkan ‘solidaritas global’terhadap para korban tsunami, bukan hanya di Indonesia, namun juga di negara-negara lain di sekitar Samudera India. Kebijakan baru ini, karena tidak ada istilah baku, dapat disebut sebagai ‘open door policy’.

Dengan kebijakan itu, Aceh menjadi terbuka untuk segala pesawat dan kapal negara sahabat yang bertujuan membantu tsunami. Hal ini berlaku bagi militer maupun LSM internasional. Pekerja kemanusiaan dari manapun kini bisa masuk ke Aceh tanpa visa. Wartawan juga bebas keluar masuk, karena SBY ingin dunia melihat dan merasakan penderitaan rakyat di Aceh dan Nias.

Keputusan open door policy ini bukan keputusan yang mudah. Pertama, kebijakan ini diterapkan di Provinsi yang-setelah 30 tahun dirundung konflik-dikenal ‘tertutup’ dibanding provinsi Indonesia lainnya. Kedua, sepanjang sejarah Republik Indonesia, belum pernah ada pasukan internasional yang masuk dan beroperasi di wilayah Indonesia.

Ketiga, TNI belum berpengalaman mengatur operasi militer kemanusiaan seperti ini. TNI sudah sering melakukan latihan gabungan dengan militer negara sahabat, namun tidak pernah melakukan operasi kemanusiaan besr-besaran dalam skala internasional seperti ini. Keempat, kehadiran pasukan asing dapat menimbulkan resiko politik di dalam negeri, karena rakyat dan elit politik tidak biasa melihat pasukan asing di bumi Indonesia.

SBY memahami sekali semua hal ini, namun ia berfikir sangat jernih dan sangat fokus pada misi, yakni untuk meyelamatkan rakyat, bukan berpolitik. Semua dilakukan dibawah koordinasi mantan Menko Kesra Alwi Shihab, dibantu Letjen Bambang Darmono (Mayjen pada saat itu), sama seperti SBY, dilapangan kedua tokoh ini juga dipaksa keadaan untuk selalu improved style untuk think outside the box, karena sepanjang karirnya, mereka tidak pernah menghadapi krisis seperti itu.

2. Mengubah Krisis Menjadi Peluang; Perdamaian Baru Dengan GAM

Jenderal Charles De Gaulle, pemimpin legendaris Perancis dalam buku “Sword of Power”, menyatakan pemimpin harus mempunyai intelek, namun lebih penting lagi,  ia harus mempunyai naluri, semacam indera keenam untuk membaca situasi yang tidak terbaca orang awam.

Menurut Dino, SBY sering bertindak mengikuti naluri politiknya, yang anehnya hampir selalu benar. Begitu juga tentang bencana tsunami Aceh, SBY diam-diam melihat satu peluang. Mungkinkah tsunami mengakibatkan perdamaian, mungkinkah penderitaan rakyat yang begitu luar biasa menciptakan dorongan moral dan politik untuk mengakhiri konflik yang sudah 30 tahun membara di Aceh, mungkinkah dimulai perundingan baru dengan GAM. Pertanyaan teoritis yang menarik, namun dari segi politik praktis sangat berat.

SBY memahami sekali bahwa masalah utama untuk memulai kembali perundingan adalah lemahnya kepercayaan antara kedua belah pihak, terutama karena sejarah perundingan dan kesepakatan antara pemerintah dan GAM yang beberapa kali kandas. Disinilah SBY terlihat ciri kepemimpinan yang penting; selalu berfikir ke depan, selalu mencari peluang dan solusi, selalu memetik pelajaran dari masa lalu.

Awal januari SBY berhasil melakukan kontak per telepon dengan komandan GAM di Aceh, Muzakkir Manaf. Dari pembicaraan itu, SBY mendapat kesimpulan penting; akibat bencana tsunami, AGAM sebenarnya bersedia mengakhiri konflik, namun harus ada instruksi dari pimpinan politik mereka di luar negeri. Jelas sudah, untuk ke depan, kuncinya adalah pemimpin poltik GAM di luar negeri; Hasan Di Tiro, Malik Mahmud, Zaini Abdullah.

Setelah melakukan perundingan berkali-kali, maka tanggal 5 Agustus 2005, pada perundingan ronde ke-5 ditandatanganilah MoU Helsinki oleh wakil Pemerintah RI Hamid Awaluddin dan wakil  GAM, Malik Mahmud. Sejak itu Aceh membuka lembaran sejarah baru; lembaran damai dan rekonsiliasi.

G. Kesimpulan

Berdasarkan uraian yang sudah disampaikan pada bab-bab sebelumnya, maka kesimpulan yang dapat diambil adalah sebagai berikut :

1. Kemampuan SBY, Krisis Aceh dan Perdamaian Dengan GAM

Sebagai pemimpin SBY mampu menjadikan dan mengubah krisis menjadin peluang dengan tercapainya perdamaian di Aceh, yang telah berkonflik dengan Pemerintah Indonesia selama kurun waktu 30 tahun terakhir, dan belum ada satu Presiden-pun yang mampu menanganinya.

SBY mampu mengambil kebijakan yang tidak populer, justru pada saat dimana semuanya masih terpaku dengan bencana tsunami, SBY mulai berfikir mengenai peluang perdamaian. Pada saat dimana elit politik sangat alergi terhadap GAM, SBY justru mengambil resiko, mempertaruhkan kredibiltasnya, menempuh proses perdamaian baru dengan GAM.

Perlu diketahui, bahwa pada waktu itu, Cessation of Hostilities agreement (COHA) yang difasilitasi oleh Henry Dunant Center untuk perundingan Pemeritah RI-GAM sudah 20 bulan ambruk, dan semenjak itu di Aceh diberlakukan Darurat Sipil. Secara politis prospek berunding lagi dengan GAM tidak lagi populer di mata elit politik dan sebagian masyarakat.

Pada saat elit politik masih penuh keraguan, SBY justru melangkah maju dengan keyakinan mendobrak dinding konflik. Pendeknya, SBY dengan mendengarkan nalurin politikny, memanfaatkan peluang, mengambil resiko dan mengukir sejarah. Sejarah pasti mencatat ada anak bangsa yang ikut membuat sejarah, SBY, JK, Endriartono Sutarto, Hamid Awalluddin, dan sejumlah pelaku lainnya.

Akibat dari perdamaian Aceh, pamor Indonesia melambung dan kredibilitas Indonesia sebagai negara demokrasi mapan yang mampu menyembuhkan konflik internal meningkat pesat. Tahun itu juga, Presiden SBY dicalonkan sebagai salah satu kandidat Nobel Perdamaian.

2. Kemenangan Demokrat Pada Pemilu 2009

Meski pada tahun 2008, banyak kalangan menyatakan berdasar hasil survei popularitas SBY merosot, begitu juga dengan perolehan suara Partai Demokrat diperkirakan bakal turun hanya mencapai sekitar 9,6 persen menurut survei Indo Barometer, begitu juga dengan survei LSI Denny JA serta survei CSIS. Posisi Partai Demokrat hanya menempati urutan ketiga setelah PDI-P dan Pertai Golkar, namun pada kenyataannya, hasil Pemilu Legislatif tahun 2009, Partai Demokrat mampu mencapai kemenangan yang fenomenal. Dengan perolehan suara sebesar 150 kursi Di DPR RI dan mendapat suara sebesar 20,85 persen naik hampir tiga kali lipat perolehan suara pada Pemilu 2004 sebesar 7,45 persen. Bahkan SBY-Budiono mampu menang satu putaran dan memperoleh suara sebesar 60,80 persen pada Pilpres 2009.

Menurut pengamat politik Doddy Ambardi, ada tiga faktor yang menyebabkan perolehan suara Partai Demokrat di Pemilu Legislatif jauh meninggalkan Partai Golkar dan PDI-P. pertama, citra tokoh sentral yaitu SBY sangat bagus, SBY adalah Ketua Dewan Pembina Demokrat dan sekaligus Roh partai itu. Citra yang baik itu diikuti popularitas yang melebihi tokoh lain. Itulah kekuatan mereka dalam memobilisasi massa pemilih. Hasilnya sangat bagus, bahkan, melampaui dukungan terhadap Partai Demokrat sendiri. Dukungan kepada SBY dua kali lipat daripada dukungan kepada partainya sendiri.

Kedua, Partai Demokrat diuntungkan oleh posisi SBY yang menjadi incumbent. Posisi ini, mempunyai pengaruh besar untuk memikat pemilih. Karena bisa mengklaim program pemerintah jadi program mereka. Jadi semacam penyederhanaan program. Yang ketiga, kampanye yang terus menerus dilakukan Partai Demokrat memperluas jangkauan pemilih partai itu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar